Credit Scoring Tools

Credit Scoring Tools

By: Rikardus Umbu 

Overview

 

Di dalam Credit Risk Management, ada tools yang kita sebut dengan Credit Scoring. Pada dasarnya credit scoring adalah suatu model yang menggunakan metode statistic kuantitatif  untuk memprediksi pola dari suatu populasi berdasarkan karakteristik tertentu. Misalnya kita ingin mengetahui dari semua customer kartu kredit di suatu bank, customer dengan karakteristik seperti apa yang memiliki probabilitas/peluang terbesar untuk langsung default (tidak melakukan pembayaran) setelah transaksi pertama kali, dsb.

 

Tipe Credit scoring

 

Credit scoring yang umumnya digunakan adalah A-score (Application score), B-score (Behaviour score), dan C-score (Collection score).

A-score

 

Sesuai dengan namanya, yaitu apllication score, credit scoring ini digunakan pada tahap Credit Initiation (credit underwriting), yaitu untuk aplikasi kartu yang masuk. Dengan adanya A-score ini, judgement atau penilaian mengenai apakah suatu aplikasi ditolak atau disetujui tidak lagi menggunakan judgement personal dari credit analyst. A-score ini menggunakan metode statistik yang dapat mengukur secara kuantitatif setiap aplikasi yang masuk. Sehingga kita dapat menentukan ambang batas/threshold minimal suatu aplikasi bisa disetujui atau tidak. Biasanya semakin tinggi A-score, semakin mungkin aplikasi disetujui.

Variabel yang digunakan dalam A-score ini adalah 80-90% berdasarkan negative list (SID) checking, antara lain seberapa besar exposure yang sudah dimiliki applicant (berapa banyak total fasilitas kartu kredit dan pinjaman yang sudah dimiliki), apakah ada fasilitas yang menunggak, berapa DBR (debt burden ratio, yaitu rasio hutang terhadap pendapatan), dsb..

Hasil dari A-score ini adalah setiap aplikasi akan di-rating (memiliki score). Selanjutnya pihak management (berdasarkan rekomendasi dari data yang ada) akan menentukan minimal score di mana aplikasi tersebut baru akan disetujui. Contohnya cut-off score 500, maka aplikasi yang memiliki score di bawah 500 akan ditolak.

Untuk implementasi dari A-score ini, yang harus dilakukan pertama kali adalah membuat model-nya berdasarkan metode statistik, baru setelah itu proses untuk infrastrukturnya. A-score ini akan sangat bergantung pada SID system (Sistem Informasi Debitur), karena itu biasanya diperlukan engine yang bisa interface dengan sistem SID untuk melakukan SID scrubbing...

B-score

 

B-score atau behaviour score adalah credit scoring yang kita gunakan untuk memprediksi pola/perilaku dari account2 yang sudah ada di dalam portfolio kita (existing portfolio). Jadi jika waktu pertama kali aplikasi masuk kita menggunakan A-score, maka sesudah aplikasi tersebut kita approve, maka untuk memprediksi pola-nya, kita gunakan B-score.

Jika pada A-score, variabel2 yang kita gunakan adalah variabel yang ada di SID dan form aplikasi (data demografi), pada B-score, variabel2 yang kita gunakan adalah portfolio performance variables (variabel2 yang ada di TP system), antara lain utilization, pola pembayaran/repayment pattern, delinquency history, dsb.

Karena itu, B-score ini baru bisa dilakukan untuk account2 yang sudah ada minimal 6 bulan di dalam portfolio kita (mob/month on book 6 bulan). Biasanya semakin tinggi B-score, semakin baik account tersebut, dalam arti kemungkin account tersebut untuk menjadi buruk/delinquent semakin kecil. Jika A-score digunakan untuk menentukan apakah aplikasi di-reject atau di-approve, dan juga untuk penentuan limit (limit assignment), maka kegunaan dari B-score ini adalah untuk keperluan portfolio management. Contohnya yaitu untuk Credit Line Management, misalnya penentuan kriteria untuk Credit Line Increase (penambahan limit) atau Credit Line Decrease (penurunan limit). Sebagai contoh, kita ingin melakukan penambahan limit untuk account2 yang memiliki B-score di atas 600. Atau untuk account2 dengan B-score di bawah 300, kita turunkan limitnya (karena high risk accounts, dengan menurunkan limit, diharapkan loss yang akan berkurang).

Selain itu, B-score bisa juga digunakan untuk melakukan program marketing tertentu. Misalnya, untuk account2 dengan B-score tinggi, kita bisa menawarkan produk lain (cross sell).  B-score juga bisa digunakan untuk strategi segmentasi di Collection untuk Front End bucket. Contohnya account2 dengan B-score tinggi, kita tidak perlu langsung telepon/dunning, cukup dengan mengirimkan sms reminder.

Untuk implementasi B-score, pertama kali dibutuhkan data yang cukup untuk membuat model statistiknya. Setelah modelnya terbentuk, maka diperlukan scoring engine untuk menghitungnya.  Jika A-score hanya dihitung satu kali, yaitu pada saat aplikasi masuk, maka B-score biasanya di-updata / di-refresh setiap bulan.

Engine yang digunakan biasanya harus memiliki interface dengan TP system, karena dia akan menghitung berdasarkan variabel2 yang ada di system tersebut. Hasil B-score-nya pun biasanya terintegrasi dengan TP system, sehingga nilai B-score dari tiap account dapat dilihat langsung di TP system (contohnya di CCMS, kita bisa melihat nilai B-score di PSHI).

C-score

 

C-score atau Collection Score hampir mirip dengan B-score. Dengan C-score ini, kita bisa memprediksi account2 yang memiliki potensi untuk menjadi GCO. Biasanya semakin besar C-score, semakin high-risk account tersebut, karena probability/peluang account tersebut menjadi GCO semakin besar.  C-score ini untuk account2 yang sudah pernah memasuki tahapan Collection. Parameter yang biasa digunakan adalah parameter2 Collection, seperti berapa kali di-call, berapa kali di-visit, berapa kali di-refer ke agency, berapa intensity-nya,dsb.

Penggunaan dari C-score ini biasanya untuk segmentasi di Collection sehingga dapat menentukan Collection treatment yang paling sesuai. Contohnya, account2 dengan C-score di atas 500 kita anggap account high risk, karena itu jika masuk X-days, kita akan langsung lakukan field visit, berbeda dengan account medium atau low risk, yang mungkin kita hanya akan dunning/call.

Di Indonesia sendiri, setau saya jarang yang mengaplikasikan C-score. Biasanya untuk front-end bucket, mereka menggunakan B-score untuk segmentasi Collection-nya. Setelah itu mereka hanya menggunakan segmentasi berdasarkan balance (balance besar sebagai high risk). Mengapa? Karena begitu 30DPD, kemungkinan besar account tersebut akan langsung Charge-off (straight to charge-off).

Jadi Collection justru fokus ke early bucket/front-end agar account yang masuk ke 30DPD+ semakin berkurang dan GCO-pun akan berkurang. Secara implementasi, dibutuhkan engine yang bisa interface dengan Collection systen, sehingga account queuing bisa dilakukan secara otomatis. Misalnya account dengan score di atas 500 akan langsung di refer ke state khusus untuk dikerjakan dengan higher collection intensity.

 

Selain C-score, sebenarnya ada juga Recovery Score. Recovery score ini adalah scoring untuk account2 recovery. Recovery score ini dapat memprediksi kemungkinan suatu account untuk dapat di-recovered. Biasanya semakin tinggi Recovery score, account tersebut semakin mudah untuk di-recovered (high potential). Parameter yang dipakai untuk membuat model ini mirip dengan C-score, misalnya sudah berapa lama di recovery, berapa kali di-call, berapa kali di assign ke agency, dsb.

Secara implementasi pun, dibutuhkan engine yang dapat interface dengan Recovery system, sehingga strategi segmentasi dapat dilakukan secara otomatis.

 

 

 

Komentar

Postingan Populer